Antiseptik ialah obat yang dapat meniadakan atau mencegah
keadaan sepsis. Antiseptik ialah zat yang digunakan untuk membunuh atau
mencegah pertumbuhan mikrooranisme, biasanya merupakan sediaan yang digunakan
pada jaringan hidup (Paul & Batzing,1987).
Desinfektan ialah zat yang digunakan untuk mencegah
infeksi dengan mematikan mikroba, misalnya sterilisasi alat kedokteran.
Sterilisasi ditujukan untuk membunuh semua mikroorganisme. Obat ini dapat
bersifat bakterisid atau bakteriostatik. Berdasarkan sifat kimia, antiseptik
digolongkan dalam golongan fenol, alkohol, aldehid asam, halogen, peroksidan
dan logam berat(Paul & Batzing,1987).
Penyiapan media pertumbuhan mikroorganisme harus mengandung
nutrisi yang dibutuhkan bakteri supaya dapat tumbuh membentuk koloni dan harus
steril sehingga tidak ada kontaminan
dari lingkungan. Media pertumbuhan dasar untuk bakteri adalah Nutrient Broth
(NB), Nutrient Agar (NA), Tryptic Soy Broth (TSB), dan Tryptic Soy Agar (TSA) (August,2001).
Cara Kerja Antimikroba,antara lain:
a)
Merusak DNA.
Sejumlah unsur antimikroba bekerja
dengan merusak DNA. Unsur ini meliputi radiasi pengion (ionisasi), sinar
ultraungu, dan zat-zat kimia reaktif DNA. Pada kategori yang terakhir ini
terdapat zat-zat alkilasi dan zat lain yang bereaksi secara kovalen dengan basa
purin dan pirimidin sehingga bergabung dengan DNA atau membentuk ikatan silang
antar untai. Penyinaran merusak DNA melalui beberapa cara, misalnya sinar
ultraungu menyebabkan penyilangan diantara pirimidin yang berdekatan pada salah
satu untai yang sama dari dua untai polinukleotida, membentuk dimer pirmidin.
Radiasi pengion memecahkan untaian tunggal atau ganda. Kerusakan DNA yang
ditimbulkan karena penyinaran atau secara kimiawi akan mematikan sel terutama
karena mengganggu replikasi DNA (Jawetz et. al., 1996).
b)
Denaturasi protein.
Protein terdapat dalam keadaan tiga
dimensi, terlipat, yang ditentukan oleh pertautan disulfida kovalen
intramolekul dan sejumlah pertautan nonkovalen seperti ikatan ion, ikatan
hidrofob, dan ikatan hidrogen. Keadaan ini dinamakan struktur tersier protein;
struktur ini mudah terganggu oleh sejumlah unsur fisik atau kimiawi, sehingga
protein tidak dapat berfungsi lagi. Kerusakan struktur tersier ini dinamakan
denaturasi protein (Jawetz et. al., 1996).
c)
Gangguan selaput atau dinding sel.
Selaput sel berguna sebagai penghalang
yang selektif, meloloskan beberapa zat terlarut dan menahan zat lainnya.
Beberapa zat diangkut secara aktif melalui selaput, sehingga konsentrasinya
dalam sel tinggi. Selaput sel juga merupakan tempat bagi banyak enzim yang
terlibat dalam biosintesis berbagai komponen pembungkus sel. Zat-zat yang
terkonsentrasi pada permukaan sel mungkin mengubah sifat-sifat fisik normalnya
dan dengan demikian membunuh atau menghambat sel.
Dinding sel berlaku sebagai struktur
pemberi bentuk pada sel, melindungi sel terhadap lisis osmotik. Dengan
demikian, zat yang merusak dinding sel (misalnya lisozim) atau menghalangi
sintesis normalnya (misalnyapenisilin) akan menyebabkan lisis sel (Jawetz et.
al., 1996).
a.
Pembuangan gugus sulfhidril bebas.
Berbagai protein enzim yang mengandung
sistein memiliki rantai samping yang berakhir dalam gugus sulfhidril. Selain
itu, paling kurang satu koenzim utma (koenzim A, diperlukan untuk transfer
gugus asil) mengandung suau gugus sulfhidril bebas. Enzimdan koenzim ini tidak
dapat berfungsi kecuali gugus sulfhidril tetap bebas dan dalam keadaan
tereduksi. Zat pengoksidai mengganggu metabolisme dengan mengkat sulfhidril
yang berdekatan dengan ikatan sulfida. Banyak logam, misalnya ion merkuri
mengganggu pula dengan bergabung bersama sulfhidril. Ada banyak enzim
sulfhidril dalam sel. Karena itu, zat pengoksida dan logam berat dapat
menimbulkan kerusakan besar (Jawetz et. al., 1996).
b.
Antagonisme kimiawi.
Gangguan suatu unsur kimia terhadap
reaksi normal antar enzim khusus dengan substratnya dikenal sebagai
“antagonisme kimiawi”. Zat antagonis ini bekerja dengan bergabung pada suatu
bagian dari holoenzim (salah satu dari apoenzim protein aktivator logam, atau
koenzim), dan dengan demikian mencegah penempelan substrat normal.
Suatu antagonis bergabung dengan suatu
enzim karena mamiliki afinitas tehadap tepat penting pada enzim itu. Enzim
melaksanakan fungsi katalisisnya berdasarkan afinitas terhadap substrat
alamiahnya. Karena itu, setiap zat yang strukturnya mnyerupai suatu substrat pada
bagian yang penting, akan memiliki pula afinitas terhadap enzim tersebut. Bila
afinitas ini cukup besar, “analog” akan menggantikan substrat normal dan
menghalangi reaksi yang biasa berlangsung (Jawetz et. al., 1996).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan
antiseptik atau desinfektan yang digunakan untuk menghambat atau membunuh
mikroorganisme adalah:
1.
Jenis organisme yang digunakan.
2.
Jumlah mikroorganisme yang digunakan.
3.
Umur dan sejarah dari mikroorganisme.
4.
Jaringan atau unsur-unsur yang ada
dalam mikrorganisme.
a.
Efek-efek dari zat kimia terhadap jaringan.
b.
Efek-efek dari jaringan terhadap zat kimia.
5.
Jenis racun dari zat kimia (jika
diambil secara internal).
6.
Waktu bagi zat kimia untuk bekerja dan
konsentrasi yang dipakai.
7.
Temperatur pada zat kimia dan pada
jaringan atau unsur-unsur yang terlibat (Sarles et. al., 1956).
Ciri-ciri suatu desinfektan yang ideal
adalah memenuhi hal-hal berikut :
1.
Aktivitas antimikrobial, pada konsentrasi
rendah harus mempunyai aktivitas antimikrobial dengan spektrum luas.
2.
Kelarutan, harus dapat larut dalam air
atau pelarut lain sampai taraf yang diperlukan untuk dapat digunakan secara
efektif.
3.
Stabilitas, perubahan yang terjadi pada
substansi bila dibiarkan beberapa hari harus seminimal mungkin dan tidak boleh
menghilangkan sifat antimikrobialnya secar nyata.
4.
Tidak bersifat racun
5.
Homogen
6.
Tidak bergabung dengan bahan organik
7.
Aktivitas antimikrobial pada suhu kamar
8.
Tidak menimbulkan karat dan warna
9.
Kemampuan menghilangkan bau yang kurang
sedap
10.
Memiliki kemampuan sebagai deterjen
atau pembersih
Tersedia dalam jumlah yang besar dengan harga yang pantas
(Eka,2006).
Yang termasuk golongan fenol adalah
fenol, timol, resolsinol dan heksaklorofen. Fenol merupakan zat pembaku daya
antiseptik obat lain sehingga daya antiseptik dinyatakan dengan koefisien
fenol. Obat ini bukan antiseptik yang kuat. Banyak obat lain yang mempunyai
daya antiseptik lebih kuat. Dalam kadar 0,01-1%, fenol bersifat bakteriostatik.
Larutan 1,6% bersifat bakterisid, yang dapat mengadakan koagulasi protein. Ikatan
fenol denga protein mudah lepas, sehingga fenol dapat berpenetrasi ke dalam
kulit utuh. Larutan 1,3% bersifat fungisid, berguna untuk sterilisasi ekskreta
dan alat kedokteran. Dalam toksikologi senyawa ini penting, karena sering
digunakan pada percobaan bunuh diri. Terhadap mukosa saluran cerna dan mulut,
bahan ini bersifat kaustik dan korosif. Terhadap SSP menyebabkan eksitasi
disusul depresi (Pelczar & Reid,1958).
Intoksikasi fenol menyebabkan tremor
dan eksitasi. Kematian biasanya disebabkan perforasi atau depresi pusat vital,
sehingga terjadi syok. Urin berwarna kehitam-hitaman, karena hasil oksidasi
fenol. Juga terlihat silinder hialin dan sel epitel. Pengobatan intoksikasi ini
ialah segera melakukan bilas lambung dan pemberian demulsen (Eka,2006).
Timol mempunyai koefisien fenol 30,
bersifat bakterisid, antelmintik dan fungisid, terutama efektif untuk infeksi
jamur (aktinomikosis, blastomikosis, koksidioidomikosis, dan kandidosis).
Sediaan timol terdapat dalam bentuk tingtur (larutan dalam alkohol) 1% dan
salep 10% (unguentum Whitfieldi) (Eka,2006).
Resosinol mempunyai sifat yang
menyerupai fenol, berefek bakterisid dan fungisid. Dalam klinik digunakan untuk
mengobati infeksi jamur di kulit,
ekzema, psoriasis, dan dermatitis seboroik. Resolsinol bersifat keratolitik dan iritan ringan (Eka,2006).
Heksaklorofen ialah senyawa bisfenol
yang mengandung klor. Heksaklorofen kadar rendah dapat mengganggu transport
elektron kuman dan menghambat enzim yang terikat pada membran. Konsentrasi
tinggi dapat menyebabkan pecahnya membran kuman. Heksaklorofen lebih aktif
terhadap kuman gram-positif daripada gram-negatif, efek bakteriostatiknya
tinggi tetapi dibutuhkan waktu kontak yang cukup, hampir tidak efektif terhadap
spora. Larutan heksaklorofen 3% dapat membunuh Staph. Aureus dalam 20-30
detik tetapi untuk membunuh kuman gram-negatif dibutuhkan waktu 24 jam. E.
Coli, Klebsiella dan P. Aeruginosa sering ditemukan sebagai
kontaminan dalam heksaklorofen dan dapat menimbulkan epidemi di rumah sakit
(Byrne,2004).
Penggunaan obat ini secara berulang
kali dapat menimbulkan superinfeksi kuman gram-negatif. Biasanya dikombinasi
dengan paraklorometoksifenol atau paraklorometokresol, walaupun demikian
dibuthkan waktu 3 jam untuk membunuh kuman gram-negatif. Nanah dan serum
menurunkan aktivitas heksaklorofen. Toksisitas sistemik dapat timbul pada anak
setelah penggunaan topikal berupa bingung, diplopia, letargi, kejang, henti
nafas dan kematian. Karena itu penggunaan heksaklorofen untuk memandikan bayi
tidak dianjurkan(Byrne,2004).
Obat ini juga bersifat teratogenik.
Heksaklorofen digunakan untuk membersihkan kulit sebelum pembedahan.
Heksaklorofen terdapat dalam bentuk emulsi, larutan dan sponge 3%
(Byrne,2004).
Bacillus
substilis
Bacillus substilis
merupakan bakteri gram positif yang biasanya ditemukan di tanah, termasuk
kedalam genus Bacilus. Seperti spesies yang lainnya, kuman ini memiliki kemampuan untuk membentuk endospora
pelindung, yang tahan terhadap kondisi lingkungan yang buruk. Tidak seperti
beberapa kuman Bacillus yang lainnya, Bacillus substilis
merupakan kuman aerob obligat (Fontana, 2000).
Bacillus substilis tidak
dianggap sebagai kuman patogen, tetapi dapat mengkontaminasi makanan dan jarang
sebagai penyebab keracunan (Fontana, 2000).
Bacillus subtilis
adalah bakteri Gram-positif (+), katalase-positif,
berbentuk batang dan bakteri aerob pembentuk endospora. Non-patogen. Biasanya ditemukan dalam tanah dan termasuk ke dalam genus Bacillus. It
is one of the most studied gram-positive bacteria. Salah satu yang menarik dari
B.
subtilis adalah kemampuannya untuk differensiasi dan membentuk
endospora..
B. subtilis memiliki kemampuan untuk
membentuk endospora yang kuat sebagai
adaptasi terhadap lingkungan yang ekstrem. Tidak seperti beberapa spesies lain,
B. subtilis memiliki sejarah pernah digolongkan pada golongan organisme
yang harus membutuhkan oksigen. Percobaan-percobaan pada masa kini telah
membuktikan hal tersebut tidaklah demikian.B. subtilis tidak dianggap
sebagai bakteri patogen pada manusia walau dapat mengkontaminasi makanan,
tetapi hal itu jarang menyebabkan keracunan makanan. Spora B. Bacillus subtilis dapat
bertahan dari pemanasan (Fontana,2000).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar