KUVET MURAH

KUVET KUARSA / GELAS dan DISPOSIBLE KUALITAS TERBAIK DENGAN HARGA BERSAING
MULAI DARI Rp 100.000,-
Hubungi 082295039612

Sabtu, 01 Oktober 2011

Menyoal Rekonstruksi Budaya

Character building adalah proses atau upaya tanpa henti untuk menggali, menemukan, membangun, dan terus-menerus memperkuat nilai-nilai budaya asli/asali-domestik di bumi nusantara ini sebagai nilai dasar atau nilai kunci (key values) yang tanpanya eksistensi dan masa depan bangsa tidak dapat dipikirkan, dibayangkan atau diandaikan. Nilai-nilai keindonesiaan yang dirajut dari pluriformitas bangsa kita itulah yang diramu dan akhirnya dikenal sebagai Pancasila. Keagungan nilai-nilai luhur Pancasila sedemikian indah dan tepatnya, sehingga Syafii Maarif dan Franz Magnis-Suseno memberikan apresiasi tinggi dengan istilah yang merangkum seluruh makna.

Oleh KIKI SYAHNAKRI

Syafii Maarif menyebut Pancasila sebagai karya agung/puncak (masterpiece) bangsa, sementara Magnis-Suseno mengistilahkan Pancasila sebagai masalah kunci dan kunci masalah bangsa. Sebagai masalah kunci, implementasi nilai-nilai Pancasila merupakan persoalan utama yang harus terus diperjuangkan dan diupayakan karena meski telah digariskan sebagai ideologi negara dan pandangan hidup bangsa, hingga kini masih ada pikiran, pandangan, dan cara hidup yang tidak saja berbeda tetapi juga bertentangan dan malah menjauh dari Pancasila.
Bahkan Pancasila kini tengah dikepung berbagai ideologi global yang berpenetrasi melalui arus globalisasi. Sekadar contoh, neoliberalisme dan kapitalisme yang mengusung fundamentalisme pasar bebas dengan muatan kepentingan Barat/AS yang lalu direspons dengan radikalisme dan fundamentalisme agama yang dipakai sebagai ideologi perjuangan oleh kelompok-kelompok tertentu yang merasa tidak berdaya menghadapi kedigdayaan AS dan sekutunya.
Sementara sebagai kunci masalah, penghayatan dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila secara konsisten dan persisten justru merupakan kunci untuk menemukan solusi-solusi yang lebih luas dan jitu dalam menghadapi berbagai masalah kebangsaan. Seandainya bangsa ini mulai dari kalangan elite hingga berbagai lapisan masyarakat membumikan atau mengaplikasikan Pancasila secara konkret, banyak persoalan tidak perlu muncul, dan masalah-masalah yang timbul pun lebih mudah diurai dan diatasi.
Dengan demikian, kita harus bicara tentang masalah menyemai, menyuburkan, dan menghidupkan nilai-nilai unggul budaya bangsa kita. Meski bukan pengamat apalagi pakar budaya, saya berpendapat kunci kemajuan bangsa ini --setidaknya bangkit dari keterpurukan panjang-- terletak pada kehendak yang kuat dan ikhtiar serius untuk membangun kembali budaya nasional atau karakter bangsa yang telah luntur.
Memang sempat berkembang wacana atau polemik tentang definisi kebudayaan nasional di kalangan pakar budaya dan filsafat. Ada yang berpendapat bahwa tidak ada kebudayaan nasional melainkan nilai-nilai budaya lokal yang dapat dipandang sebagai kekayaan bangsa. Saya merasa tidak perlu masuk dalam arena itu. Namun, budaya nasional secara sederhana dapat dipahami sebagai mozaik atau konfigurasi nilai-nilai kolektif yang menjadi akar kehidupan bersama dan diangkat sebagai karakteristik atau nilai-nilai pembeda kita dari bangsa-bangsa lain. Nilai-nilai unggul yang tersebar sebagai kearifan lokal itulah yang diramu-padatkan dalam formula Pancasila.
Berkaca pada bangsa Asia lainnya yang sudah sangat maju seperti Jepang dan Korea (juga Cina), mereka memetik kemajuan luar biasa di berbagai bidang karena berfondasikan budaya nasional yang kuat dengan muatan nasionalisme, semangat kerja keras, etos pengabdian yang tinggi, disiplin tinggi (antara lain sangat menghargai waktu), pantang menyerah, menghargai kompetisi, dan prestasi.
Dengan potensi sumber daya alam yang sangat terbatas bahkan minus, kedua bangsa tersebut (ditambah Cina, India, Singapura, dan Malaysia) tampil sebagai simbol kekuatan Asia di wilayah global. Malaysia pun berupaya mengonstruksi budaya nasional itu sampai, misalnya, nekat mengklaim salah satu karya seni kita sebagai produk budayanya. Kebutuhan mengembangkan jati diri pada beberapa negara Asia itu mencerminkan kesadaran nasional mereka yang tinggi pula, karena entitas bangsa-negara justru diperkuat oleh identitas bangsa itu sendiri. Politik identitas itu dilakukan dan diperkuat melalui jalan kebudayaan (the cultural way).
Disintegrasi
Timbul pertanyaan kritis sekarang, apakah dampaknya bila jalan kebudayaan itu dilalaikan atau tidak dianggap penting? Disintegrasi! Bahaya itu bukanlah momok fiktif melainkan ancaman riil yang terus membayang-bayangi kehidupan bangsa-negara kita. Bahaya itu berpotensi menjadi kenyataan manakala kita mengabaikan pembangunan budaya, karakter, dan jati diri bangsa. Ketiga hal ini saling berkaitan dan merupakan satu bagian integral karena budaya bermuatan karakter dan jati diri, sementara karakter terpantul dalam budaya dan jati diri bangsa, sedangkan jati diri bangsa secara simultan mencerminkan karakter dan budaya bangsa.
Bagaimana menjelaskan bahaya disintegrasi akibat kelalaian atau pengabaian terhadap budaya bangsa? Nalar kita membenarkan itu dengan merujuk pengalaman bangsa lain terutama Uni Soviet dan Yugoslavia. Banyak analis mengatakan kedua negara itu runtuh karena permainan politik Amerika Serikat dan sekutu Baratnya dengan memainkan jurus liberalisasi ekonomi, reformasi politik serta pelumpuhan kekuatan internal melalui intelijen dan sebagainya. Para analis itu lupa ada faktor penting yang lebih fundamental dan strategis yakni rapuhnya budaya nasional kedua bangsa.
Andai kata kedua negara tersebut memiliki jati diri tangguh berbasis budaya dan karakter yang kuat, keduanya mungkin tidak secepat itu ambruk dan terfragmentasi dalam kepingan-kepingan negara baru yang menyobek kebangsaan mereka. Faktanya, Yugoslavia terlalu bertumpu pada figur Tito sementara Soviet begitu sentralistis dan tegak di atas satu-satunya tiang topang yaitu Partai Komunis. Akhirnya pascareformasi, Soviet yang memiliki 140-an etnis dengan sekian ratus ragam budaya pecah menjadi 15 negara karena tidak memiliki kekuatan budaya nasional.
Pertanyaan reflektif-kritis lagi, dapatkah dibayangkan Indonesia mampu bertahan dengan keanekaan lebih dari 300 etnis dan sekian ratus (atau ribu?) ragam budaya yang tidak diikatkuatkan dengan suatu perekat kebangsaan? Mampukah bangsa-negara ini tetap eksis di tengah gempuran berbagai kekuatan global dan serbuan nilai-nilai asing yang terus menggerus identitas nasional atau jati diri bangsa kita? Secara faktual harus diakui bahwa jati diri bangsa kita mengalami erosi hebat sejak dimulainya era reformasi ini. Bahkan sesungguhnya kekuatan budaya nasional telah mengalami pelapukan sejak era Orde Baru dimulai karena pembangunan yang terlalu berorientasi projek fisik-material dan mengabaikan pembangunan budaya yang murni bernapaskan Pancasila (spirit kebangsaan).
Orientasi itu justru semakin subur pada era ini ketika paham neolib dan kapitalis menyebarkan pula efek atau paham ikutan-nya seperti materialisme, konsumerisme, dan hedonisme. Generasi muda kita dapat terpolusi paham-paham yang destruktif ini dan pada gilirannya menghancurkan jati diri bangsa.
Belum lagi neofeodalisme yang tampak pada hasrat berburu kekuasaan demi status sosial, ekonomi, dan politik, selain korupsi, sikap saling tuding antarelite, mau menang sendiri, anarkisme, dan sebagainya. Sementara nilai-nilai unggul budaya bangsa seperti semangat toleransi, kekeluargaan, gotong royong, musyarawarah, ramah-tamah, saling menghargai, dan tenggang rasa cenderung melemah secara drastis. Sebaliknya kian subur anasir kultural yang lebih bermuatan kepentingan kelompok, primordialisme sempit, dan lokalisme kultural.
Jika rekonstruksi jati diri atau reorientasi dan transformasi kultural tidak segera dilakukan (transfomasi kultural=menformat ulang identitas kebudayaan kita sesuai dengan nilai dasar dan menyesuaikannya secara kritis dan visioner dengan perubahan zaman), sementara kita menganggap segala sesuatu baik-baik saja (tidak ada lagi kewaspadaan nasional menghadapi perang ideologis dan perang budaya dewasa ini), sekali lagi, ancaman disintegrasi bangsa sungguh nyata di depan mata. Oleh karena itu, sebagai anak-anak bangsa yang patriotis-nasionalis kita perlu mengambil sikap tegas.
Mulai dari mana?
Dengan demikian, Indonesia harus bangkit dan segera memperkuat jati dirinya, dengan memekarkan kembali nilai-nilai unggul budaya. Dalam bingkai pemahaman ini, budaya Jawa dan Sunda --sebagai komponen budaya terbesar di nusantara-- perlu bahkan seyogianya memelopori pembangunan budaya nasional secara serius dan kontinu dengan melakukan rekonstruksi nilai-nilai budaya unggul yang tersemai sesuai dengan semangat Sumpah Pemuda, Bhinneka Tunggal Ika, semangat bela negara, dan sebagainya.
Dari perspektif inilah, Dialog Budaya dan Dialog Publik yang akan digelar di Bandung bersama Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Ajip Rosidi serta tokoh-tokoh nasional lainnya diharapkan dapat menjadi titik awal proses rekonstruksi budaya nasional atau jati diri bangsa. Mudah-mudahan pula proses ini bergulir menasional dan sinambung karena character building merupakan on going process. Dipilihnya Kota Bandung sebagai titik awal sangat beralasan secara historis karena Bandung adalah kota sejarah yang heroik pula. Di kota inilah tercipta momentum yang monumental, Indonesia Menggugat-nya Bung Karno.
Oleh karena itu, pertanyaan mulai dari mana? bisa dijawab secara fisik-geografis, dari Bandung sebagai kota lautan api yang heroik-patriotis. Secara substantif-filosofis, dari (pembangunan) budaya nasional yang selama ini belum tersentuh dengan sepenuh hati. Semua ini dipersembahkan untuk Indonesia Raya, seperti amanat lagu kebangsaan kita.***
Penulis, Letnan Jenderal TNI (Purn.), mantan Wakasad, Ketua Umum Pejuang Siliwangi Indonesia (PSI).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar