KUVET MURAH

KUVET KUARSA / GELAS dan DISPOSIBLE KUALITAS TERBAIK DENGAN HARGA BERSAING
MULAI DARI Rp 100.000,-
Hubungi 082295039612

Sabtu, 12 November 2011

Arus Balik Karya Agung Pramoedya

Pembuka

Novel ini membuat Pramoedya memenangkan Magsaysay Award Philipina. Novel ini pertama kali diterbitkan Hasta Mitra, seperti karya-karya Pramoedya yang dicetak kembali diakhir 90an. Pram selalu mengajukan catatan sejarah pada novelnya. Tertralogi Pulai Buru, awal perkembangan gerakan intelektual muda Indonesia awal abad 20, tokoh Minke dianggap menjadi awal masa jurnalistik Indonesia. Novel lain, Larasati memiliki latar belakang sejarah semangat Revolusi pada tahun-tahun setelah kemerdekaan, pada masa kependudukan tentara sekutu.

Kabarnya, novel Arus Balik proses pembuatannya mengandalkan pengkonsepan di otak, tanpa ditulis, karena saat itu Pram sedang dipenjara dan tidak diperbolehkan menulis. Novel ini baru dituliskan setelah ia keluar dari penjara. Penggalian sejarahnya sangat baik, misalnya ia berhasil menggambarkan kepahlawanan Adipati Unus. Pram memang memiliki gaya menulis yang khas, bahkan dalam menghadirkan humor dalam tulisannya.

Banyak tokoh disebutkan disini, selain juga banyak penggalan sejarah. Misalnya diceritakannya Majapahit yang dimulai oleh rakyat jelata biasa saja yaitu Wijaya (dan teman-temannya) pada 1292. Banyak priode sejarah ikut disebutkan seperti Sri Baginda Erlangga, saat masa pelabuhan Indonesia sedang berjaya. Tokoh lain yang disebutkan:  Mpu Nala sebagai Bapak Angkatan Laut Kerajaan Majapahit, Giri Dhanapura dan Ranawijaya Girindra Wrdhana (Blambangan, menjelang abad 15), hingga Pemberontak Kuti. Pecahan-pecahan sejarah diangkat untuk turut mewarnai cerita dan membandingkan setting atau jalannya cerita yang sedang dipakai. Contohnya disebutkan sikap salah satu peran kecil dalam cerita yaitu Ranawijaya (Raja Dhanapura) yang meminta bantuan Peranggi untuk melawan dominasi Islam.

Dalam novel ini, jatuhnya Majapahit (1401-1405) melalui Perang Paregreg, berawal dari Bhre Pramesywara berniat menggulingkan Kaisar Wanita Suhita. Dia melarikan diri ke kerajaan Campa, untuk kemudian mendirikan kesyahbandaram di Malaka, dan berganti nama menjadi Maulana Ishaq. Perang Paregreg adalah perang saudara antara Kaisar Wanita Suhita (Majapahit) dan Bhre Wirabbumi (Blambangan) yang kemudian melemahkan Nusantara dan sebagai awal kesyahbandaran Malaka. Keturunan langsung Majapahit, Wilwatikta Adipati Tuban, diceritakan merasa tidak memiliki harapan mengembalikan kejayaan Majapahit dan hanya bersikap mengadaptasi keadaan.


Isi

Kisah dimulai dengan ceramah Mpu Cluring dan guru-guru desa lain, yang dianggap pemberontak oleh  Adipati Tuban Wilwatikta. Mpu Celuring berkata:  "hidup di zaman aku ini...", sebuah ceramah yang cukup tertanam dalam diri Galeng dan juga Idaayu, dalam usaha mengembalikan kejayaan masa lalu. Kepercayaan yang kemudian membuat Galeng mengikuti langkah Adipati Unus dan berkata: "serang malaka, bukan kuasai jawa". Setting cerita yang dipakai adalah awal kedatangan portugis ke indonesia, dan pada saat itu yang tertinggal adalah sisa-sisa kejayaan majapahit. Kemudian dipaparkan awal kemunduran lebih lanjut bangsa, yang masih terlalu magis dan mengalami berbagai kegagalan dalam kegiatan yang tanpa cita-cita.

Adaptasi kesyahbandaran Tuban untuk turut mengadaptasi kehadiran Peranggi dan Ispanya dan meriam-meriamnya, terlihat dengan mengangkat  Syahbandar baru yaitu Tholib Sungkar Az-zubaid atau dengan nama lain Sayid Habibullah Almusawa, seorang Moro Spanyol. Kemudian pergeseran perdagangan yg tadinya Nusantara sebagai pemegang kuasa atas ramainya perdagangan laut, bergeser ke Eropa. Dalam novel ini, dijelaskan nenek moyang kita mulai berkenalan dengan bangsa Eropa (portugis).  Ispanya (Spanyol) dan Peranggi (Portugis) datang sebagai kekuatan militer yang hebat pada masanya. Karena fisiknya, mereka dianggap setan  bukan manusia dan karena kemajuan persenjataannya mereka mendapat predikat ‘lelanange jagat’ (penguasa dunia)

Lagi-lagi Pramoedya menampilkan kesadaran sejarah kedalam novelnya. Disini sangat jelas keyakinan Pram pada semangat yang pernah dimiliki bangsa ini. Mengenai pencapaian kekuasaan, kegiatan membangun, yang bercita-cita dan berhasil menghadirkan kebanggaan. Pram memberikan role model tokoh dalam novel ini. Baik itu yang semangat dan bercita-cita, maupun tokoh-tokoh yang digambarkan lemah berpikir dan oportunis. Selain banyaknya nama dan data yang muncul, harus diakui novel ini mengalir tersusun dengan cukup kompleks. Tokoh Galeng adalah yang utama dalam cerita ini, bersama Idayu, keduanya adalah penduduk Awis Krambil. Desa Awis Krambil adalah desa yang selalu dijagokan dalam lomba gulat dan tari yang menjadi pesta rakyat Kadipaten Tuban. Mereka tergambarkan sebagai Kamarama dan Kamaratih, karena serasi dan tak terpisahkan. Melalui Rama/Mpu Cluring, Galeng menjadi pembelajar dan pemikir setelah menjuarai gulat dan bergabung sebagai prajurit Tuban. Adipati Tuban Wilwatikta, adalah penguasa yang berhubungan darah langsung dengan pendahulu Majapahit namun tak melakukan usaha pengembalian kejayaan Majapahit. Rangga Iskak, seorang keling,  adalah Syahbandar Tuban yang diusir Wilwatikta karena kebutuhan pada syahbandar yang mampu berbahasa Eropa. Pada masa ini, jabatan syahbandar ditempati oleh orang asing yang dianggap lebih cakap berdagang.  Penggantinya adalah Tholib Sungkar Az-zubaid/ Sayid Habibullah Almusawa, seorang Moro pelarian Malaka. Sebagai salah satu penyusun cerita, Rangga Iskak kemudian menjadi Sunan Rajeg/ Kiai Benggala yang memberontak dan membangun massanya sendiri kerena sakit hati dan usaha mencapai kekuasaan.

Penokohan yang beragam hadir dalam cerita ini, misalnya Lim Mo Han, seorang pemuka China di lashem dan Sampo Toalang (Semarang) yang turut khawatir pada kedatangan Peranggi ke Nusantara. Dalam novel ini, terdapat tokoh dalam sejarah penjajahan oleh Portugis yaitu Alfonso de Albuquerque, yang disebut dengan nama  Kongso Dalbi oleh masyarakat Jawa. Dalam novel ini, Francisco De Sa adalah awak kapal yang menjadi pemimpin prajurit Peranggi. Terdapat pula nama-nama Maesa Wulung (seorang prajurit tuban), Yakub ‘si arab pemilik kedai  tuak’ yang juga menjual informasi, hingga Nyi Ayu Campa dan pengurus selir Wilwatikta sekaligus istri Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almusawa, Nyi Gede Kati. Peran kecil lain misalnya persaingan dalam pasukan Kyai Benggala pemimpin desa Rajeg, antara Mahmud Barjah yang merupakan muslim buangan Kadipaten Tuban dengan dua orang Portugis yang di-Islamkan Kyai Benggala yaitu: Rois (Rodriguez) dan Manan (Esteban). Dalam perkembangan Demak, Fatahillah, seorang arab, tergambarkan secara tidak sengaja merebut Jayakarta. Setting utama cerita ini adalah daerah kekuasaan Tuban pada sekitar 1510an-1520an.

Dan Poin utama yang menjadi ceritanya adalah Galeng, Portugis, Wilwatikta, kerajaan Demak dengan Unus dan Trenggono-nya. Inisiatif Adipati Unus untuk menyerang Malaka karena tidak ingin membiarkannya menjadi kekuatan yang besar tidak digubris Wilwatikta. Awal masa pembangunan armada Portugis di Malaka. Pembangunan armada perang Demak besar-besaran kandas melalui 1 kali perang di Malaka. Dalam perang itu Tuban mengkhianati pernyataan dukungannya, dan Unus tewas secara mengharukan di perang itu. Galeng meyakini inisiatif Unus berkaitan dengan pemahaman ke-nusantara-an yang didapat dari Mpu Cluring dimasa lalu. Tentu saja, keyakinan tersebut tak mampu termanifestasikan mengingat Wilwatikta memimpin Tuban dengan cara yang minimalis. Belum lagi Tholib Sungkar Az-zubaid / Sayid Habibullah Almusawa yang menjadi tokoh yang memberikan pertimbangan pada Wilwatikta hanya berdasarkan rasa aman-nya. Dia digambarkan sebagai tokoh tanpa jelas keberpihakannya dan sikap yang mudah berubah. Karena sakit hatinya, Rangga Iskak atau Sunan Rajeg berinisatif membangun pemberontakan dan merebut kekuasaan Kadipaten Tuban yang berada dibawah Wilwatikta. Galeng sendiri memiliki karir yang baik di Tuban dan menyusun iman perjuangan berdasarkan ceramah Mpu Cluring. Selain itu, ia pun terobsesi pada usaha dan langkah yang telah dibuat Unus. Dan ia meyakini: serang Malaka, usir portugis, bukannya kuasai Jawa.

Melalui novel ini, tidak berlebihan jika menganggap Trenggono memiliki karakter yang hampir sama dengan Wilwatikta. Pasukan yang telah dibangun Unus akhirnya dipakai untuk menguasai Jawa. Dalam cerita ini, Galeng dan Ratu Aisah menjadi tokoh yang kecewa terhadap Trenggono. Setelah Galeng berhasil menyelesaikan pemberontakan Sunan Rajeg, kesempatan menyerang Malaka untuk yang kedua hadir. Lim Mo Han menjadi salah satu tokoh yang terlibat penting. Armada gabungan Tuban, Aceh, dan Bugis, menyerang Malaku dari Utara, dan Demak dari Selatan. Dalam berperang dengan Poretugis, teknologi berperan penting, dan meriam menjadi senjata dahsyat yang dimiliki pada umumnya Negara Eropa pada waktu itu. Berbagai halangan membuat penyerangan mandek dan membuat pasukan terjebak bertahan di Aceh. Menjaga semangat menjadi permasalahan tersendiri. Wiranggaleng pun pulang ke Jawa tanpa hasil. Bagian terakhir usaha Galeng adalah menahan gempuran Peranggi di Jawa. Dan usaha habis-habisannya berhasil, Peranggi  terusir dalam usaha pendaratan di Tuban. Namun setelah itu, Galeng merasa hilang harapan, meninggalkan Kadipaten dan hidup dengan tenang bersama Idaayu dan Kumbang, anak kedua Idaayu. Anak pertama Idaayu, Gelar, merupakan hasil perkosaan Sayid Habibullah Almusawa, tumbuh menjadi anak yang tangkas dan terobsesi oleh Wiranggaleng. Usaha pembuktian yang sedikit dipengaruhi kebencian membuatnya membunuh ayah kandungnya syahbandar Sayid Habibullah Almusawa. Hal tersebut mengundang kemarahan Galeng dan Idaayu yang beragama Budha. Usaha membuat terkesan selanjutnya adalah membunuh Trenggono, sayangnya gagal. Gelar tidak benar-benar memahami cita-cita tinggi ayahnya. Pram menjelaskannya sebagai sebuah tragedi, suatu usaha tanpa cita-cita.

Meski penuh dengan gambaran kekuasaan, ideologi bangsa dan juga ke-nusantara-an, nilai religiusitas bisa digali dalam novel ini. Kemajemukan masyarakat Jawa Hindu dan Budha bertambah dengan hadirnya Islam. Spiritual masyarakat tergambar dalam keseharian masyarakat Hindu dan Budha yang tergambar dengan sangat baik melalui pedoman hidup yang penuh metafora dan mistis. Panjatan doa pada Hyang Widhi tergambar sangat baik, belum lagi tradisi Hindu kesetiaan istri pada suami dengan membakar diri jika suaminya meninggal. Selain itu ajaran Budha yang sama sekali melarang membunuh orang, apalagi orang tuanya. Kegiatan Ulama Islam, dan usaha penyebaran Islam ke berbagai pelosok Jawa juga menggambarkan nuansa religious sekaligus menjadi bagian yang melengkapi cerita. Berbagai penggambaran ini hadir saling melengkapi dalam novel ini. Dan yang menurut saya bagian terbaiknya  adalah ketika Gusti Ratu Aisah mendoakan dan memberi cincin warisan Unus pada Galeng yang telah menjadi Senapati Tuban. Spiritual dan religiusitas nampak dalam interaksi dua orang yang berbeda kepercayaan.



Penutup

Pramoedya Ananta Toer (alm.) menghadirkan warna tersendiri dalam dunia sastra Indonesia. Karya bisa menjadi bagian usaha penelusuran dan pencatatan sejarah Indonesia. Lebih dari itu, Pram selalu berhasil menghadirkan gagasan dengan sangat khas. Mengajukan suatu kesadaran melalui kisah.

Selain kaitan dengan kekuasaan dan Ideologi akan sangat menarik mengaitkannya dengan nilai spiritual. Dalam novel ini ia mengajukan diujinya iman perjuangan dan keteguhan pada keyakinan. Jika diaktualkan, kita memang ditantang untuk tetap waras dalam hidup ini. Ketika keyakinan menjadikan diri kita konsisten berpegang pada nilai dan memiliki standar tertentu dalam menjalani segala sesuatunya.

Kekuasaan dalam esensinya memang usaha untuk mencapai kondisi tertentu dalam kaitannya dengan kehidupan bersama. Mencoba mengaitkan Ideologi dalam banyak novelnya, pada kesempatan lain, Pram pernah menyampaikan: "setinggi-tingginya ilmu pengetahuan, manusia tetap saja tak kan bisa dipelajari". Persetujuan-persetujuan yang menjadi turunan secara alami melalui sebuah besaran ideologi atau kesepakatan norma tidak selamanya berkembang dan maju. Manusia hidup berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang unik. Lebih dari itu, manusia hidup dengan hasratnya. Meminjam istilah Freud, kita adalah ego dalam tarik menarik antara id dan super ego. Dan paradigma atau kesepakatan yang sedang berlangsung  tentu bukanlah yang terbaik, melainkan persetujuan yang terwujud. Yaitu kesepakatan keberlangsungan pemenuhan kepentingan-kepentingan tertentu.

Berkali-kali Pram menjadi nominasi peraih Nobel, termasuk karya Arus Balik ini. Sayangnya hanya sering masuk sebagai nominasi, belum mencapai Nobelis Sastra. Menurut rumor, kegagalan tersebut disebabkan karya Pram tidak mampu menggerakkan pembacanya. Ini tentu keliru, gagasan dalam Novel Pram sebenarnya tentu lebih dari cukup. Yang perlu dilakukan hanyalah menciptakan kesadaran para pembaca Indonesia. Manusia memang tidak ada habisnya. Melalui novel Arus Balik kita bisa belajar banyak hal dan mengaktualkannya sekarang. Diskusi lebih lanjut tentu saja akan membawa manfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar